BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
minggu pertama bulan oktober 1965 rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangakaian
berita Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan
pada tingkayt tertinggi pemerintahan ibukota Jakarta.Pada hari jum’at tanggal 1
Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan empat berita penting.
Siaran
pertama, sekitar pukul 07.00 pagi, memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal
30 September 1965 di Ibukota Republik Indonesia, jakarta telah terjadi “gerakan
militer dalam Angkatan Darat”yang dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai
oleh Letkol Untung, Komandan Bataliyon Cakrabirawa, pengawal pribadi Presiden
Soekarno. Sejumlah besar jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang
penting-penting serta obyek penting lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut dan
“Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerakan
tersebut ditujukan kepada jendaral-jendral anggota apa yang menamakan dirinya
Dewan Jendral. Komandan Gerakan 30 Sepetember itu menerangkan bahwa akan
dibentuk Dewan Revolusi Indonesia ditingkat pusat yang dikuti oleh tingkat
kabupaten, kecamatan dan desa.
Siaran
kedua, sekitar pukul 13.00 hari itu juga memberitakan “Dekrit No.1 tentang
Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia dan keputusan No.1 tentang susunan Dewan
Revolusi Indonesia”. Baru dalam siaran kedua ini diumumkan “Komando Gerakan 30
September”, yaitu Letkol Untung sebgai komandan, Brigjend Supadjo, Letkol Udara
Heru, Kolonel laut Sunardi, dan Ajun Komisaris besar Polisi Anwas sebagai Wakil
komandan.
Siaran
kedua ini memuat dua keanehan. Dari sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa
seorang Brigjend menjadi wakil seorang Letkol. Selain itu, “Gerakan 30
September” ini ternyata bukanlah sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat,
oleh jarena dalam dekrit No.1 tersebut diumumkan bahwa : “untuk sementara
waktu, menjelangpemilu MPR sesuai dengan UUD 1945, Dewan Revolusi Indonesia
menjadi sumber dari segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Siaran
ketiga, pad pukul 19.00, RRI menyiarkan pidato radio Panglima Komando Tjadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayjend Soeharto, yang menyampaikan bahwa
gerakan 30 September tersebut adalah golongan kontra revolusioner, yang telah
menculik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, dan telah mengambil alih
kekuasaan Negara, atau coup dari YPM presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin
besar Revolusi dan melempar cabinet Dwikora ke kedudukan demisioner.
Perwira-perwira tinggi AD yang telah diculik adalah : Letjend. A.Yani, Mayjend
. Soeprapto, Mayjend. S. Parman, Mayjend. MT Haryono, Brigjend. D.I Pandjaitan,
dan Brigjend Soetoyo Siswomihardjo. Dengan prosedur tetap angkatan darat, Mayor
Jendral Soeharto mengumumkan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat
dipegang oleh beliau.
Kemudian
pada tengah malam tanggal 1 Oktober 1965 menjelang 2 Oktober, RRI menyiarkan
pengumuman Presiden/Panglima tertinggi ABRI.Pemimpin Besar Revolusi Soekarno bahwa
beliau dalam keadaan sehat dan tetep memegang pimpinan Negara dan revolusi.
Selanjutnya
pada tanggal 3 Oktober 1965pukul 01.30 RRI menyiarkan pidato Presiden/Panglima
Tertinngi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, yang selain menegaskan kemabali
bahwa beliau berada dalam keadaan sehat dan tetap memegang tumpuk pimpinan
Negara serta tampuk pimpinan Pemerintahan dan Revolusi Indonesia. Beliau
mengumumkan bahwa tanggal 2 Oktober beliau telah memanggil semua panglima
Angkatan Bersenjjata bersama wakil perdana menteri kedua Dr.Leimena, dan
pejabat penting lainnya. Pimpinan Angkatan Darat langsung berada ditangan
beliau dan tugas sehari-hari dijalankan oleh MayJend Pranoto Reksosamodra,
assisten I(II men/PANGAD, sedangkan MAyjend Soeharto, panglima Kostrad ditunjuk
untuk meklaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban.
Sesuai
pidato Presiden tersebut makan pada tanggal 3 Oktober 1965 itu juga Panglima
Kostrad Mayjend Soeharto mengumumkan bahwa mulai saat itu pimpinan Angkatan
DArat dipegang langsung oleh PYM Preisden/Panglima tertinggi ABRI. Beliau
sendiri masih diberi tugas untuk menngembalikan keamanna sebagai sediakala.
Pada
tanggal 4 Oktobet 1965pukul 20.00 RRI Jakarta menyiarkan rekaman pidato Mayjend
Soeharto seteelah menyaksikan pembonkaran tujuh jenazah, enam jenazah jendral
dan satu jenazah perwira pertama yang diculik “Gerakan 30 September” pada dini
hari tanggal 1 Oktober 1965. jenazah tersebut ditemukan dalam keadaan rusdak
didalam sebuaha sumur tua di daerah lubang buaya, dekat pangkalan uadara Halim
Perdana Kusuma, Jakarta. Daerah itu digunakan sebagai lokasi latiahan
sukarelawan dan sukarelawati yang berasal dari pemuda rakyar (PR) dan Geerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) oleh oknum-oknum Ankatan Udara. Kedua Organisasi ini
adala “organisasdi mantel” dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh perwira
yang ditangkap oleh oknum-oknum Cakrabirawa di kediamannya masing-masing.,
dibawa ke lokasi latihan PR dan Gerwani tersebut untuk disiksa dan dibunuh.
Gerakan 30 September ternyata keluar merupakan aksi Cakrabirawa dan ke dalam
merupakan aksi PR dan Gerwani.
Pada
tanggal 4 Oktober inilah diketahui untuk pertama kalinya kejelasan mengenai
“Gerakan 30 September” tersebut. Gerakan itu ternyata terkait dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI), yang sejak tahun 1951 membengun kembali kekuatannya
setelah terlibat dalam pemberontakan terhadap republic Indonesia dalam bulan
November1948 PKI madiun , jawa timur.
Rangakaian
sidang mahkamah militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk mengadili mereka yang
telibat dalam kudeta tersebut telah mengungkapakan lebih dalam lagi
keterlibatan PKI. Partai ini tyerbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi
subversi sejak tahun 1954, yang berpuncak pada kueta berdarah pada awal bulan
Oktober 1965 tersebut. Oleh karena itu “Gerakan 30 september” disebut secara
lengkap sebagai “Gerakan 30 September/artai Komunis Indonesia” atau “G30S/PKI”.
Pengungkapan
peranan PKI dalam sidang mahkamah tersebut telah menimbulkan reaksi hebat dalam
masyarakat Indonesia, yang berujung dengan ditetapkannya ktetapan MPR sementara
No. TAP-XXV/MPRS/1966 tanggal 5 juli 1966 tentang pembubaran Partai Komunis
Indonsia, pernyataan sebgai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara RI
bagi Partai Komunis Indonesia, dan larangtan setiap kegiatan untuk menyebarkan
atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Penumpasan
G30S/PKI mencakup penumpasan secara fisik dengan menghancurkan pimpinan,
organisasi dan gerakan bersenjatanya. Penumpasan secara konstitusional dengan
melarang paham Marxisme/leninisme-Komunisme dan penumpasan secara ideologis
dengan mengadakan penataran Kewaspadaan Nasional.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
berkembangnya PKI di Indonesia pada tahun 1950-1965?
2.
Bagaimana
aksi yang dilakukan PKI melalui Gerakan 30 September di tingkat pusat?
3.
Bagaimana
tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam penumpasan G30S/PKI?
4.
Apa
tuntutan massa dalam penumpasan G30S/PKI?.
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
memperoleh dan memperkaya pemahaman tentang Sejarah nasioanal yang terkait
dengan sejarah perjuangan mempertahankan ideologi Pancasila pada khususnya dan
bangsa Indonesia pada umumnya.
2.
Dapat
mengetahui berkembangnya PKI di Indonesia pada Tahun 1950-1965.
3.
Dapat
mengetahui aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI di tingkat pusat.
4.
Dapat
mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penumpasan G30S/PKI
5.
Dapat
mengetahui tuntutan yang di ajukan oleh massa dalam penumpasan G30S/PKI.
6.
Dapat
memahami dan menjelaskan tentang pemberontakan G30S/PKI 1965 di tingkat pusat
dan penumpasannya serta tuntutan massa terhadap penumpasan G30S/PKI.
7.
Dapat
memahami arti sebuah perjuangan.
D.
Garis
Besar Isi Makalah
Isi dari makalah
secara garis besar adalah sebagai berikut:
Ø Bab I.
Pendahuluan
Ø
Bab
ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan masalah, masalah, tujuan dan kegunaan penulisan,
metode penulisan, dan garis besar makalah.
Ø
Bab
II. Berkembangnya PKI di Indonesia Tahun 1950-1965
Pada bab ini
dijelaskan berkembangnya pengaruh komunisme di Indonesiapada masa demokrasi
liberal dan demokrasi terpimpin. Munculnya nama DN.Aidit sebagai pemimpin dalam
PKI dan membuat provokasi dan ingin mengkomunismekan bangsa Indonesia dengan
membuat partai dan menyusun program guna melaksanakan aksinya.
Kemenangan PKI
dalam pemilu 1955 membuat peluang PKI untuk membentuk negara dan masyarakat
komunis yang sempat tertunda pada tahun 1948 semakin besar. Dengan kemenangan
tersebut maka banyak orang-orang PKI yang duduk dalam sistem pemerintahan hal
ini dimanfaatkan untuk mengubah ideologi bangsa dari pancasila menuju ke
komunisme.
Ø
Bab
III. Aksi G30S/PKI ditingkat Pusat
Pada bab ini
akan menjelaskan tentang aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI, dari aksi
sabotase,teror , agitasi, propaganda,aksi fitnah pada tubuh Angkatan
Daratbahkan sampai melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap 7 perwira
tinggi Angkatan Darat.
Ø
Bab
IV. Penumpasan G30S/PKI dan Tuntutan Massa Dalam Pembubarannya.
Dalam bab ini
akan dijelaskan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh panglima kostrad,
penemuan lokasi dimana para jenazah perwira diculik dan dibunuh oleh kaki
tangan PKI.
Disini juga
menyebutkan bagaimana reaksi rakyat dengan tindakan spontan yang dilakukan oleh
massa dan trituranya. Yang akhirnya Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto diberikan
mandat oleh presiden pada tanggal 3 Oktober 1965 untuk melaksanakan pemulihan
keamanan dan ketertiban.
Pada tanggal 11
Maret 1966 dikeluarkannya perintah kepada Letjend TNI Soeharto untuk mengambil
segala tindakan yang dianggap perluuntuk menjamin keamanan dan ketertiban serta
kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia, serta menjamin
keselamatan dan kewibawaan presiden demi keutuhan NKRI.
Ø
Bab
V. Kesimpulan
Pada bab ini
memuat kesimpulan tentang terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan
30 September yang didalangi oleh PKI.
BAB II
BERKEMBANGNYA PKI DI INDONESIA TAHUN 1950-1965
1.
Tampilnya
D.N. Aidit dalam Kepemimpinan PKI, Tahun 1950
Alam
demokrasi liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959
memberikan kesempatan kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi walaupun
sebelumnya partai komunis itu telah melakukan pemberontakan. Alimin mengakifkan
kembali PKI pada 4 februari 1950. Akan tetpi, kepemimpinan Alimin ini tidak
berjalan lama karena pada Juli 1950 D.N. Aidit yang melarikan diri ke luar
negeri akibat pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi ke indonesia bersama M.H
Lukman. Ketika mendarat di Tanjung Priok mereka dibantu oleh Kamarusaman bin
Ahmad Mubaidah alias Sjam, yang pada saat itu mempunyai kedudukan sebgai salah
seorang pimpinan buruh di Pelabuhan Tanjung Priok.
Tindakan
pertama D.N. Aidit adalah menyatukan kembali seluruh potensial partai. Setengah
tahun kemudian D.N. Aidit berhasil mengambil alih kepemimpinan PKI dan mengintensifkan propaganda untuk
merehabilitasi nama PKI dengan mengeluarkan “Buku Putih” tentang pemeberontakan
Madiun. Bahkan, Alimin menuntut pengadilan dan penguburan kembali tokoh-tokoh PKIyang
dihukum mati akibat pemberontakan PKI-Madiun, tetapi hal ini ditolak oleh
pemerintah RI.
Kepemimpinan
D.N. Aidit menjadi semakin kuat setelah tokoh-tokoh muda lainnya, seperti Njoto
dan Sudisman, bergabung. Pada bulan Januari 1951 CC(Comitt Central) PKI memilih
politbiro baru yang terdiri atas D.N Aidit, M.H Lukman, Njoto, Sudisman dan
Alimin. Pemimpin-pemimpin baru inilah yang kemudian berhasil membangun kembali
dan mengembangkan PKI. Politbiro ini menjalankan Strategi Front Persatuan
Nasional. Sampai awal tahun 1952
Politbiro CC PKI memusatkan perhatian pada perumusan taktik utama, bentuk
perjuangan dan bentuk organisasi yang kemudian diikuti oleh PKI dalam
tahun-tahun berikutnya.
Awal
tahun 1951 DN Aidit jugsa merehabilitasi Mohammad Jusuf (orang yang pernah maha
dikutuk oleh orang-orang komunis karena tindakan penyelewengan garis partai
dengan melakukan pemberontakann melawan Pemerintah RI di bogor pada tahun
1946.) kemudian pada bulan agustus 1951 PKI menggerakkan kerusuhan-kerusuhan di
kota Jakarta dan Bogor. Di Bogor banyak penduduk yang menjadi korban. Kabinet
Sukiman melakukan penangkapan dan penggeledahan dirumah- rumah para pemimpin
PKI. Oleh PKI peristiwa penangkapan dan penggeledahan ini disebut “ Razia
Agustus 1951” dan dianggap sebagai provokasi pemerintah Sukiman dalam mencari
alasan untuk membubarkan PKI. Akibat tindakan pemerintah itu, sejumlah besar
pimpinan PKI menjadi tahanan politik dan sebagian kecil melarikan diri. Dalam
operasi penangkapan ini D.N. Aidit berhasil lolos dan melarikan diri ke Moskow,
sedangkan PKI melaksanakan gerakan bawah
tanah.
Tahun
1953 D.N. Aidit kembali ke Indonesia dari Moskow. Ia muncul dengan konsep baru
yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”. Melalui konsep ini
D.N.Aidit sekaligus menegaskan jalan yang revolusioner di samping cara-cara
parlementer.
Dengan
berdasarkanMarxisme-Leninisme dan alanisis mengenal situasi kondisi Indonesia
sendiri, CC PKI di bawah pimpinan D.N.aidit menyusun program partai untuk
mencapai tujuannya, yaitu mengkomuniskan Indonesia. Adapun isi program tersebut
adalah sebagai berikut.
Ø
Membina
front persatuan nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan kaum tani.
Ø
Membangun
PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyai karakter massa yang luas,
yang sepenuhnya terkonsolidasi di
lapangan idiologi, politik, dan organisasi.
Dalam
pelaksanaan membina font persatuan nasional, PKI merasa perlu
untuk membina apa yang mereka sebut borjuis nasional dan
borjuais kecil kota karena
oleh PKI golongan-golongan ini dinilai sebagai sebagai golongan yang tertekan
oleh penghisap imperalis asing. Pembinaan kedua
golongan ini amat penting,di samping membina buruh dan tani. Namun,PKIdi bawah
kepemimpinan D.N Aidit menaruh perhatian yang besar kepada para tani untuk
dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan konsep Demokrasi Rakyat. Dengan propaganda
yang menarik dilancarkan bahwa petani harus merdeka,memiliki tanah atau menyewa
tanah ,dan menerima upah dengan harga yang sesuai dengan yang di kehendakinya.
Selanjutnya,D.N.Aidit berpendapat bahwa desa adalah sunber bahan makanan,sumber
prajurit revolusioner,sebagai tempat menyembunyikan diri jika terpukul di
perkotaan,dan sebagai basis untnk merebut kembali perkotaan.
Dalam
membangun PKI D.N.Aidit mengatakan “ Kalau kita mau menang dalam revolusi,kalau
kita mau mengubah wajah masyarakat yang setengah jajahan menjadi Indonesia yang
merdeka penuh, kalau kita mau ambil bagian dalam mengubah wajah dunia, maka
kita harus mempunyai partai model partai komunis Uni Sofiet dan model partai komunis
Cina”
Jadi,
jelas disini bahwa titik tolak strategi dan taktik PKI pada masa kepemimpinan
D.N.Aidit ialah dengan memakai model partai komunis Uni soviet dan model partai
komunis Cina sekaligus, disesuaikan dengan kondisi nyata di Indonesia.
2.
PKI
pada Masa Demokrasi Liberal, Tahun 1950-1959
Setelah
D.N.Aidit memperoleh kesempatan merehabilitasi PKI dalam alam demokrasi
liberal,dia dan kawan-kawannya mengambil kesimpulan bahwa untuk memperoleh
kesempatan duduk dalam pemerintahan, seperti pada masa sebelum pemberontakan
PKI-Madiun, PKI perlu mengadakan aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang
penting. Pada awal tahun lima puluhan di Indonesia terdapat Partai besar, yaitu
Partai Nasional Indonesia ( PNI ) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia ( MASYUMI
). Menurut jalan pikiran PKI, yang potensial dan harus didekati adalah PNI.
Ketika
kabinet Sukiman jatuh pada tanggal 23 februari 1952 sebagai akibat persetujuan Mutual
Security Asct ( MSA )dengan Amerika Serikat yang ditanda tangani oleh Menteri
Luar Negeri Mr.Achmad Soebardjo (Masyumi ), CC PKI mengeluarkan pernyataan
politik yang pada hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet
tanpa Masyumi. Meskipun kemudian dalam kabinet baru yang dibentuk dibawah
pimpinan Mr. Wilopo ( PNI ) ternyata terdapat pula menteri-menteri dari
Masyumi, tetapi PKI tetap menyatakan dukungannya walaupun kecewa karena Masyumi
diikutsertakan.
Pernyataan
dukungan PKI itu berisi pembetitahuan kepada partai-partai pendukung kabinet
bahwa PKI sedia mendukung mereka dengan satu imbalan yang ringan, yaitu agar
partai-partai politik mengahpuskan kecurigaan dan sikap anti terhadap PKI
beserta organisasi-organisasi massanya ( ormas-ormasnya ). Upaya PKI tersebut
beshasil dan sejumlah pimpinan PNI mulai bekerja sama dengan PKI. Kerja sama
itu berpuncak pada usaha menjatuhkan kabinet Mr.Wilopo oleh PNI sendiri,
meskipun kabinet itu dipimpin oleh seorang tokoh PNI. Sebagai penyebabnya ialah
peristiwa Tanjung Murawa di Sumatra Utara, yakni insiden antara polisi dan
penyerobot tanah perkebunan milik Negara yang didukung oleh PKI. Peristiwa ini
merupakan kesempatan bagi PNI dan PKI untuk merongrong Gubernur Sumatra Utara,
Abdul hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr.Moh.Roem, yang kedua-duanya dari
Masyumi. Akhirnya, kabinet Mr.Wilopo jatuh.
Setelah
kabinet Mr.Wilopo jatuh PKI mengeluarkan pernyataan yang menuntut pembentukan
kabinet baru sesuai dengan Font Persatuan yang di dalamnya termasuk PKI, tetapi
tanpa Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Krisis kabinet berlangsung
agak lama dan beberapa formatur telah menemuai kegagalan. Dalam pernyataan
berikutnya, PKI meniadakan tuntutanya untuk duduk di dalam kabinet baru.
Setelah satu bulan, terbentuknya kabinet baru dibawah pimpunan Mr.Ali
Sastroamidjojo ( PNI ) dengan menteri-menteri dari berbagai partai kecil,
tetapi tanpa Masyumi dan PSI. Kabinet ini disebut kabinet Mr.Ali Sastroamijojo
1. Dan pernyataan PKI setelah mendukung kabinet itu disebutkan bahwa kabinet
itu sebagai suatu “Kemenangan gemilang daripada demokrasi terhadap fasisme”.
Selama
masa pemerintahan kabinet Mr.Ali Sastroamijojo 1, PKI memberikan dukungannya
secara gigih pada PNI. Walaupun diketahui oleh umun bahwa kabinet tersebut
tidak berhasil mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia,
tetapi PKI tetap membela kabinet Mr.Ali Sastroamijojo I. Setiap kali kabinet
terrancam perpecahan dari dalam, PKI mengadakan pembelaan yang keras untuk
kabinet dan menyerang kelompok-kelompok yang hendak menjatuhkannya.
Posisi
PKI menjadi semakin mantap berkat aglitasi dan propaganda D.N. Aidit yang intensif sehingga pada Pemilihan
Umum tahun1995 PKI berhasil mengumpulkan enam juta suara pemilih. Dengan hasil
yang dicapainya itu, PKI masuk salah satu dari empat besar setelah PNI, Masyumi,
dan Nahdatul Ulama(NU). Meskipun PKI mendapat suara yang cukup besar dalam
Pemilu, namun PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk setelah
pemilu tersebut.
Dalam
suasana ysng kurang menguntungkan bagi PKI tersebut, presiden Soekarno secara
terbuka menyatakan keinginannya agar PKI diikutsertakan dalam kabinet. Presiden
Soekarno berpendapat bahwa PKI perlu dikutsertakan dalam kabinet karena partai
itu telah berhasil tampil sebagai salah satu dari empat partai besar dalm
pemilu. Akan tetapi, keinginan presiden tidak terwujud karena kabinet yang
terbentuk adalah kabinet koalisi antara PNI-Masyumi-NU. Kabinet yang tersusun
setelah pemilu ini dinamakan Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo II. Walaupuin
gagal, sikap Presiden Soekarno tersebut
telah banyak menolong PKI dalam proses perkembangan politik Indonesia
selanjutnya.
Keadaan
yang dihadapi kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo II memang sulit, apalagi setelah
Drs. Moh. Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada
bulan Desember 1956. Berpisahnya
Dwitunggal Soekarno-Hatta[6] ini merupakan perkembangan yang
menguntungkan bagi PKI karena setelah itu PKI lebih leluasa geraknya didalam
upaya menarik Presiden Soekarno agar lebih dekat lagi kepda PKI.
Kemenagan
yang dicapai PKI dalam Pemilu 1955 sebagai hasil aglitasi dan propaganda D.N.
Aidit sungguh sesuatu yang luar biasa, jika diingat kembali bahwa tujuh tahun
sebelumnya PKI pernah mengkhianati perjuangan bagsa Indonesia. Dengan
kemenangan itui, PKI berusaha kembali untuk mewujudkan tujuan politiknya yang
telah gagal mereka capai pada tahun 1948, yakni membentuk negara lain
masyarakat komunis yang sebenarnya tidak dikenal dalam kehidupan bangsa
Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Untuk mencapai tujuan politik tersebut,
PKI melakukan langkahnya dengan cara menanamkan pengaruhnya diberbagai bidang
kehidupan kenegaraan, bauki dibidang ideologi, politik maupun dibidang militer.
Dibidang
ideologi, PKI telah melancarkan upaya perubahan yang mendasar terhadap
pancasila. PKI berusaha menggati sila pertama dari pancasila, yakni “Ketuhanan
Yang Maha Esa” dengan rumusan “kemerdekaan beragama”, seperti yang dikemukakan
oleh Njpto dalam sidang-sidang Konstutuante tahun 1958. Menurut PKI tidak semua
masyarakat Indonesia beragama monotheis, banyak di antaranya yang beragama
politheis, bahkan ada yang tidak berahgama sama sekali. Jelaslah bahwa sejak
semula PKI sudah berusaha untuk mengganti Pancasila denagn paham lain.
Dibidang
politik dan milter, PKI menyusun strategi politiknya dalam Kongres V yang
diselenggarakan tahun 1954. Strategi politik itu mereka sebut Metode Kombinasi
Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP). Salah satu sasaran dari strategi ini adalah
menanampakn paham komunisme dikalangan anggota-anggota Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI)sebgai kekuatan sosial politik yang menentang PKI.
Disamping
berkembangnya pengaruh PKI, ketidakpuasan yang melahirkan ketegangan-ketegangan
politik terus meningkat. Dengan alasan untuk menyelamatkan negara dan bagsa
dari perepecahan, Soekarno yang telah berhasil didekati oleh PKI melontarkan
sebuah konsepsi yang disampaikannya pada tanggal 21 Februari 1957 dalam
pidatonya yang berjudul “Menyelamatkan
Republik Indonesia”, yang kemudian dikenal sebagai “Konsepsi Presiden”.
Dalam gagasan itu Presiden mengemukakan konsep politik yang disebut Demokrasi
terpimpin. Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut Preisden mengusulkan
pembentukan kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional, yang didalamnya duduk
wakil-wakil parpol dan semua golongan fungsional. Preiden Soekarno menghendaki
agar orang-orang PKI duduk dalam kabinet dan Dewan Nsioanal tersebut walaupun
beliau belum mengetahui bahwa banyak partai politik yang tidak menyetujui
gagasannya. Bagi PKI, keinginan Presiden Soekarno itu sangat menguntungkan,.
Oleh karena itu, PKI segera menyatakan dukunhgannya, terutama mengenai
pembentukan kabinet Gotong Royong dan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Dengan
terbentuknya pemerintahan koalisi nasional, dan melalui pemerintahan
koalisi nasional itulah akan dapat
diwujudkannya Front Persatuan Nasional, yaitu adanya organisasi-organisasi yang
bersimpati dan mendukung PKI.
3.
PKI
pada Masa Demokrasi Terpimpin, Tahun 1959-1965
Konstituante
hasil pemilu 1955 tidak berhasil menyusun Undang-undang dasar baru sebagai
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Ketidakberhasilan itu disebabkan oleh
adanya perbedaan pendapat yang tajam mengenai dasar negara di antara
anggota-anggota konstituante. Untuk mengatasi kemacetan di dalam Dewan
Konstituante, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit
kembali ke UUD 1945. Isi dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:
1. Bubarkan
Konstituante
2. Belakunya
kemabali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
3. Pembentukan MPRS
dan DPAS
4. Penjelasan
mengenai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut disampaikan dalam pidatonya yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang di ucapakan tanggal 17 Agustus 1959.
Presiden
Soekarno selanjutnya meminta kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) agar isi
pidato tersebut dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang
memimpin Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung itu adalah D.N. Aidit, ketua CC
PKI. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk memasukkan program-program PKI
kedalam GBHN, yang kemudian dikenal sebagai “Manifesto Politik (manipol) RI”.
D.N. Aidit berussahaq memenfaatkan kedudukannya itu untuk merumuskan isi
manipol sesuai dengan thesis revolusi PKI, yaitu “Masyarakat Indonesia dan
Revolusi Indonesia (MIRI)” yang diruskan PKI tahun1957, dua tahun sebelum
Presiden mengucapkan pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Meskipun upaya
PKI untuk mendominasi isi manipol sesuai dengan konsep MIRI mendapat hambatan
yang gigih dari tokoh-tokoh anti komunis di DPA, namun konsep manipol akhirnya
disetujui Presiden.
Keleluasaan
PKI semakin bertamabah ketika Presiden membentuk Front Nasional. Pembentukan
Front Nasional tersebut semula dimaksudkan sebagai penggerak masyarakat, tetapi
dalam kenyataannya menyimpang dri tujuan tersebut karena badan itu menjadi
sasaran penggarapan PKI untuk dibawa kedalam strategi Front Persatuannya. PKI
bersusaha membawa Font Nasional menjadi alat politiknya dengan cara
memanfaatkan organisasi-organisasi massa, yang menjadi anak organisasi PKI atau
yang sudah dipengaruhi PKI.
Pertengahan
tahun 1960 PKI mencoba kekuatannya untuk menghadapi TNI-AD dengan melancarkan
kritik dan tuduhan bahawa TNI-AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas
pemberontakan PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). Bersama dengan dilancarkannya kritik dan
tuduhan tersebut, PKI melakukan pengacauan di beberapa daerah, seperti di
sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pimpinan TNI-AD
menilaia bahwa kritik dan tuduhan itu adalah upaya untuk mengacau keadaan,
apalagi dengan adanya bukti terjadinya kekacauan oleh PKI di beberapa daerah
tersebut. Untuk itu, TNI-AD melalui wewenagnya selaku Penguasa Perang Daerah
(Peperda) menghentikan dan memebekukan berbagai kegiatan PKI atas dasar
Undang-Undang Keadaan Bahaya yang sedang berlaku pada saat itu. Oleh Perpeda
dilakuikan pula penangkapan dan pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI, serta
melarang media massa PKI terbit dan beredar. Dan menyapaikan kepada preisden
agar tidak percaya terhadap loyalitas PKI, tetpai preisden tidak
mengindahkannya, bahkan sebaliknya beliau memperingatkan TNI-AD supaya fobi
(perasaan takut terhadap sesuatu tanpa sebab tertentu) terhadap PKI.
Keberhasilan
PKI secara politik semakin memperkuat PKI untuk memperbesar dan mancapai
cita-citanya. Untuk memperoleh perimbangan kekuatan, PKI melukan “ofensif manipolis”,
Kemudian dirngkatkan menjadi “ofensif revolusioner”, yang ditujukan kepada
semua kekuatan sosial politik yang tidak mereka senangi. Selain itu, PKI
berusaha pula merangkul golongan lain yang kiranya dapat dijadikan “kawan”,
Seperti Pertindo dan mensyusupi PNI melalui Ir.surachman, yang ketika itu
menjabat sebagai Sekjen DPP PNI.
Tahun
1964 intensitas ofensif revolusioner PKI terhadap tokoh-tokoh politik yang
dianggap sebgai lawannya makin ditingkatkan. Secara intensif PKI melancarkan
tuduhan kontra revolusi terhadap lawan-lawan politik mereka. Posisi PKI semakin
kuat dengan dibentuknya kabinet Dwikora pada tanggal 27 Agustus 1964, yang
didalamnya duduk beberapa tokoh PKI Sebagai Menteri Koordinator (Menko) dan
menteri. Pembentukan Komando Tertinggi Retrooling Aparatur Negara ternyata
sejalan dengan PKI, karena itu pembentukan ini mereka sambut dengan tangan
terbuka. Namun, ABRI tidak tinggal diam, dan terus mengawasi gerak-gerik PKI.
Bagi PKI tidak ada cara lain untuk kabur
dari pengawasan tersebut, kecuali dengan melancarkan fitnah dan kampanye
menjelek-jelekkan Jendral A.H. Nasution sebagai seorang tokoh ABRI yang
dikatakannya ingin menyabotase Nasakom.
Sementara itu,
pada tahun 1963 tersiar adanya dokumen CC PKI yang berisi program rahasia yang
berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”. Pragram itu berupa
program jangka pendek yang berisis penilaian situasi dan rencana aksi untuk
mewujudkan tujuan akhir PKI. Dokumen rahasia itu diketemukan oleh anggota
Partai Murba. Oleh Wakil Perdana Menteri III, Dr. Chaerul Saleh, seorang tokoh
Partai Murba, dokumen itu diserahkan kepada ketua umum DPP PNI, Mr. Ali
Sastroamidjojo. Selnjutnya, dokumen itu dipaparkan dalam sidang kabinet pada
awal Desember 1964. PKI membantahnya dan dengan berbagai dalih mengatakan bahwa
dokumen tersebut adalah dokumen palsu, buatan kaum Trotskyst[13]yang dibantu
kaum Nekolim[14] berusaha untuk menghancurkan PKI. Tersiarnya dokumen rahasia
itu menyebabkan ketegangan Politik makin meningkat karena partai-partai lain mencurigai
OKI. PKI tetap meyakinkan kepada Presiden bahwa dokumen itu palsu. Untuk
meredam ketegangan, Presiden memanggil para pemimpin partai ke istana Bogor dan
memerintahkan nmereka menyusun sebuah rumrusan menyelesaikan masalah
persengketaan antar partai. Pada tanggal 12 Desember 1964 sepuluh paarpol
menandatangani sebuah deklarasi yang disebut deklasi Bogor. Deklarasi itu
drianggap sebagai cetusan kebulatan tekad partai-partai dihadapan Pemimpin
Besar Revolusi, Bung Karno. Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam
deklarasi tersebut dan dengan demikian masalahnya doianggap selesai.
Selama tahun
1964 itu dapat dicatat sejumlah aksi yang dilakukan PKI, antara lain sebagai
berikut :
1. Gerakan riset di
kecamatan-kecamatan untuk memastikan kekuatan apa yang oleh PKI disebut petani
miskin.
2.
Aksi
yang menuntut penyitaan milik inggris dan AS
3.
Aksi
menuntut retooling, tuntutan penggantian pejabat yang anti PKI, dan aksi tunjuk
hidung
4.
Pengindonesiaan
Marxisme
5.
Aksi-aksi
teror di berbagai daerah.
BAB III
AKSI G30S/PKI DI TINGKAT PUSAT
1. PKI Melaksanakan Tindakan Peningkatan Situasi
Ofensif Revolusioner, Tahun 1964-1965
Setelah
penyusupan kader-kader PKI ke dalam tubuh aparatur negara, termasuk ABRI,
organisasi Politik, dan Oraganisasi kemasyarakatanmencapai taraf yang oleh PKI
dinilai cukup kuat, maka PKI mulai melaksanakan kegiatan yang mereka sebut
sebagai tahap ofensif revolusioner, hal tersebut meliputi:
A.
Sabotase,
Aksi Sepihak dan Aksi Teror
Upaya PKI,untuk
menciptakan suasana revolusioner, selain
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat, juga melalui
kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak dan teror.kegiatan-kegiatan tersebut
antara lain adalah:
1)
Tindakan
Sabotase terhadap Transportrasis Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase
yang dilakukan kaum Komunis terhadap sarana-sarana penting Pemerintah mulai
terlihat sejak bulan Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar
sinyal dan langsung masuk stasiun purwokerto, jawa tengah sehingga menabrak
rangkaian gerbong yang berhenti di stasiun tersebut. Tanggal 6 Februari 1964,
kasus tabrakan antara dua rangkaian Kereta Api juga terjadi di Kallyasa, Sala,
Jawa Tengah. Pada tanggal 30 April 1964, peristiwa yang sama terjadi di Kroya,
Jawa Tengah. Tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon dan Semarang, serta tanggal 6 Juli
1964 di Cipapar, Jawa Barat.
Menyususul
kemudian beberapa kasus lepas dan larinya gerbong-gerbong dari rangkaian
lokomotifnya di Tanah Abang tanggal 18
agustus 1964, di Bandung tanggal 31 Agustus
1964, Tasikmalaya tanggal 11 Oktober 1964. Seminggu kemudian tanggal 18
Oktober 1964 di daerah yang sama yaitu Tasikmalaya terjadi kasus kecelakaan
yang menimpa 20 rangkaian gerbong KA yang mengangkut peralatan Militer.
Dari hasil
interogasi oleh aparat keamanan menunjukkan bahwa kasusu-kasus yang terjadi
merupakan tindakan kesengajaan (sabotase) yang bertendensi politik. Para pelaku
adalah anggota Serikat Buruh Kereta Api(SBKA) yang merupakan organisasi yang
berada dibawah naungan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
2)
Aksi-Aksi
Sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia)
Pada tanggal 23
Mei 1964, setelah kegiatan HUT ke-44 PKI yang dilaksanakan di Semarang , ketua
CC PKI D.N Aidit serta 58 tokoh PKI termasuk didalamnya Himpunan Sarjana
Indonesia (HSI) yang terpengaruh oleh PKI mengadakan gerakan Turba (Turun
Kebawah) yang sekaligus melakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan
bahwa petani di daerah Jawa sangat miskin dan sangat potensial untuk digerakkan
mendukung program PKI melalui aksi-aksi melawan tuan tanah di desa-desa.
Untuk dapat
mempengaruhi para petani tersebut, PKI berpura-pura membantu mereka dengan cara
melakukan kampanye penuntutan Undan-undang Bagi hasil tanah pertanian. Sejalan
dengan kampanye tersebut, untuk memepertajam pertentangan kelas sesuaia dengan
doktrin Marxisme-Leninisme. PKI mengkampanyekan pula sikap anti “Tujuh Setan
Desa” yaitu; tuan tanah, lintah darat,
tengkulak, tukan ijon, kapitalis birokrat (kabir), bandit desa dan
pemungut/pengumpul zakat. Dalam melaksanakan kampanye melawan “Tujuh Setan
Desa”, PKI dengan gencar melakukan aksi massa dan aksi sepihak secara
sistematis dan terencana, aksinya antara lain:
Ø
Aksi
Massa BTI di Jawa Tengah
Kasus peratama
yang mengawali aksi massa oleh BTI[15] adalah terjadinya konflik fisik anttara
kurang lebih 1000 orang sesama petani di desa Kingkang, Kecamatan Wonosari,
Kabupaten Klaten pada tanggal 26 Maret 1964. Atas hasutan tokoh-tokoh PKI setempat ratusan massa BTI melakukan
pengeroyokan terhadap seorang petani yang bernama Partosoekardjo sehubungan
dengan sewa-menyewa dengan Kartodimedjo.
Ø
Aksi
Massa BTI di Jawa Barat
Kemudian
rentetan aksi BTI berikutnya terjdi di area kehutanan milik negara di hutan
Karticala dan tugu, kabupaten indramayu. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1964
terjadi pengeroyokan dan penganiayaan terhadap 7 anggota polisi kehutanan, yang
menjaga perkebunan milik negara.
Ø
Aksi
Massa BTI di Jawa Timur
Pada tanggal 15
Januari 1965 terjadi gerakan aksi massa yang dilakukan oleh BTI di desa Gayam,
Kediri.sekitar 1000 orang anggota BTI menyerbu dan menganiaya seorang petani
bernama Soedarno yang sedang mengerjakan lahan sawahnya dengan alasan sawah
yang dikerjakan oleh Soedarno adalah sawah sengketa.
3)
Aksi-aksi
Teror
-
Peristiwa
Kanigaro Kediri
Tanggal 13
Januari 1965 sekitar pukul 04.30 massa anggota PKI yang di pimpin oleh Ketua
Pengurus Cabang Pemuda Rakyat Daerah Kediri, Soerdjadi, mengadakan terot denagn
melakukan penyerbuan terhadap para akytivis Pelajar Islam Indoneisa (PII) yang
sedang mengadakan pelatihan mental di desa Kanigoro, Kediri. Pada kesempatan
itu PKI/PR melakukan pemukulan dan penganiayaan terhadap para Kyai dan Imam masjid serta merusak rumah ibadah
bahkan menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an.
-
Aksi
Massa dan Demonstrasi Anti Amerika
Awal Desember
1964 sejumlah massa pendukung PKI mengadakan demonstrasi untuk memprotes
kehadiran dan kegiatan Kantor Penerangan AS, United States Information
Services(USIS) di seluruh indonesia. Dalam aksi massanya, mereka menghancurkan
perpustakaan USIS yang berada di Jakarta dan Surabaya. Pada tanggal 11 Desember
1964, Wakil Ketua Umum Panitia Aksi Pembikotan Film Amerika Ny. Oetami
Soeryadarma menuntut agar American Motion Pictures association Of Importers (AMPAI)dibuabarkan. Untuk
memperkuat tuntutan tersebut pada tanggal 28 Februari 1965 sejumlah massa PKI berdemonstrasi
didepan ksiaman Dubes AS, Howard P. Jones seminggu kemudian Gerwani mengirim
telegram kepada Presiden dan Menlu Dr. Soebnandrio agar menyatakan Pesona non
Gatra[16] terhadap direktur AMPAI, Bill Palmer, dan sekaligus mengusirnya dari
Indonesia.
Dua minggu
setelah peristiwa di kantor AMPAI Jalkarta, pada tanggal 1 April 1965 seluruh
massa pendukung PKI menyerang villa milik Direktur AMPAI di tugu puncak,
Bogor meskipun Bill Palmer tidak ada
dikediamannya saat itu.
B.
Agitasi
dan Propaganda
Rangakaian aksi
Massa PKI dalam rangka menciptakan situasi ofensif revolusioner lebih di
tingkatkan lagi melalui aglitasi dan Propagandadengan tujuan untuk lebih
membakar emosi massa. Dalam upaya tersebut, PKI menggunakan unsur pers ysng
sudah didominasi PKI, antara lain Kantor Berita antara dan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI). Melalui tokoh-tokoh utamanya, PKI membangkitkan semangat
progresif revolusioner dengan melakukan pidato-pidato di segala forum kegiatan,
baik pemerintahan maupun non pemerintahan.
Slogan politik
tentang keterlibatan PKI dan mewarnai kehidupan politik dimana-mana sehingga
gamabaran apa yang di sebut sebagai situasi ofensif revolusionerbenar-benar
snagat mendominasi kohidupan sosial-politik mkasyarakat saat itu. PKI juga
memanfaatkan program pendididkan kader revolusi dan kader Nasakom yang
diselenggarakan oleh pemerintah melalui Front Nasional.
2.
Aksi
Fitnah Terhadap Pimpinan TNI-AD tahun 1965
Setelah PKI
secara politis berhasil memperlemah lawan-lawannya, baik parpol, ormas maupun
perorangan, maka tinggallah satu kekuatan sebagai penghambat utama bagi
pelaksanaan program politiknya, yaitu ABRI, khususnya TNI-AD. Karenanya PKI
menyusun konsep-konsep kegiatan yang bertujuan melemahkan posisi pimpinan
TNI-AD. Diantaranya dengan melakukan fitnah politik yangditujukan kepada TNI-AD.
Ø
Isu
Dewan Jendral
Dalam rangka
memperburuk citra TNI-AD, PKI melancarkan isu Dewan Jendral. Isu ini
disebarluaskan melalui anggota0anggota PKI yang aktif bekerja dalam berbagai
lingkungan. Agar isu ytersebut sampai kepada Presiden, maka salah seorang
anggota PKI yang duduk dalam DPR-GR bernama Soedjarwo Harjowisastro memberikan
isu tersebut sebagai informasi kepada Kepala Staf BPI (Badan Pusat Intelijen),
Brigjend Pol Soetarto yang juga merupakan anggota PKI.
Dikatakan bahwa
Dewan Jendral terdiri atas sejumlah Jendral TNI-AD, antara lain Jendral TNI
A.H. Nasution, Letjend TNI A. Yani, Mayjend TNI Soeprapto, Mayjend TNI S.
Parman, Mayjend TNI Haryono M.T, Brigjend TNI Sutoyo S, Brigjend TNI D.I
Pandjaitan, dan Brigjend TNI Sukendro yang mempunyai sikap antipati terhadap
PKI.
Isu Dewan
Jendral terus dilakukan dalam bentuk desas-sesus yang memperburuk citra TNI-AD,
dan seolah-olah Dewan Jendral adalah kelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak
loyal kepada Presiden dan mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan
Presiden. Oraganisasi-organisasi yang bernaung dibawah PKI digunakan sebagai
sarana untuk menyebar luaskan isu tersebut, dan mulai terdengar bulan Mei 1965.
Lingkup
penyebaran isu Dewan Jendral adalah sebagai berikut:
Penyebarluasan
isu yang menyatakan tentang adanya Dewan Jendral didalam tubuh TNI-AD yang mempunyai tugas khusus
memikirkan usaha-usaha dalam rangka menghadapi kegiatan yang bersifat
“kiri[17]”. Dengan isu tersebut, PKI ingin menciptakan kesan bahwa TNI-AD
merupakan kekuatan yang bersifat “Kanan” yang anti PKI.
Diisukan bahwa
Dewan jendral yang disebut sebagai kekuatan kanan mempunyai tujuan yaitu
meniklai kebijaksanaan Presiden selaku Pemimpin Besar Revolusi. Pda lingkup ini
PKI ingin memberi kesan bahwa Dewan Jendral adalah sebuah badan dalam TNI-AD
yang tidak dapat dijamin loyalitasnya kepada BPR. Tujuannnya adaah menhgadu
domba antar TNI-AD dengan Presiden
Diberitakan
Dewan Jendral bekerjasama dengan
imperalis, dalam rangka upaya PKI meyebarluaskan kesan kepada masyarakat
seolah-olah TNI-AD telah mengkhianati perjuangan rakyat Indonesia. Isu ini
semakin berkembang dengan tersiarnya “dokumen Gilchirst[18]” pad bulan Mei 1965
Pada sekitar
awal bulan september 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jendral akan merebut
kekuasaan dari presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari
daerah uang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pad tanggal
5 Oktober 1965. Kemudian, untuk lebih meyakinkan masyarakat mengenai
kebenarannya, PKI telah menciptakan Isu Kabinet Dewan Jendral sebgai berikut:
1) Perdana Menteri :Jendral TNI
A.H. Nasution
2) Wakil PM/Menteri
Pertahanan : Letjend TNI A.
Yani
3) Menteri Dalam
Negeri : Hadisubeno
4) Menteri Luar
Negeri : Roeslan
Abdulgani
5) Menteri Hubungan
Dagang LN : Brigjend TNI
Sukendro
6) Menteri Jaksa
Agung : Mayjend S.
Parman
Dalam rangka
menyiapkan Gerakan 30 September, biro khusus secara intensif mempengaruhi
iknum-oknum anggota ABRI yang telah dibinanya dengan Brifing-Brifing situasi
politik, yang intinya :
1. Ada Dewan
Jendral yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden
2. Perlu ada
gerakan m iliter untuk mendahului rencana Dewan Jendral tersebut.
Bentuk
pengembangan isu Dewan Jendral menjadi rencana matang akan adanya
perwira-perwira yang berpikiran maju mendahului rencana Dewan Jendral.
3.
Aksi
Bersenjata Gerakan 30 September Pada Awal Oktober 1965
Di Jakarta,
tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30
letkol Inf. Untung dengan diikuti Sjam, Pomo, Brigjend TNI Soepardjo dan
Kolonel Inf. A. Latief tiba di lubang buaya. Ia memberikan perintah pelaksanaan
kepda semua komandan pasukan agar segera berangkat menuju ke sasaran
masing-masing yang telah ditetapkan.
Pembagian Tugas Pasukan Penculik
-
Pasukan Pasopati
Tugas Pasukan
Pasopati adalah menculik para Jendral Pimpinan TNI-AD dan membawanya ke Lubang
Buaya. Kekuatan bersenjata yang tergabung dalam Pasukan Pasopati terdiri atas
satu Batalyon Infanteri (minus) dari Brigare Kolonel Inf. A. Latief, satu Kompi
Cakrabirawa dari Batalyon pimpinan Letkol Inf. Untung. Satu pleton dari
batalyon infantri pimpinan Mayor Inf. Sukirno/kapten inf. Kontjoro, dan
pleton-pleton sukwan PKI.
Lettu Inf. Dul
Arief yang bertinfak sebagai pimpinan pasukan Pasopasti segera mengumpulkan
pasukan dalam formasi yang telah ditentukan;
a) Pasukan yang
ditugasi menculik Jendral TNI A.H Nasution dibawah pimpinan Pelda Djahurup,
anak buah letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu kompi pasukan bersenjata dan
stu pleton sukwan PKI.
b)
Pasukan
yang ditugasi Letjen TNI A. Yani di bawah Pimpinan Peltu Mukidjan, anak Buah
Kol.Inf. A. Latief, dengan kekuatan satu kompi pasukan bersebjata dan dua regu
Sukwan PKI
c)
Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjend TNI S. Parman di bawah pimpinan Serma Satar,
anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok
Sukwan PKI.
d)
Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjend TNI Soeprapto dibawah pimpinan Serda sulaiman,
anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok
Sukwan PKI
e)
Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjend TNI Haryono MT dipimpin oleh Serma Bungkus, anak
buah Letkol Inf. Untug, dengan kekuatan satu pleton dan kelompok Sukwan PKI
f)
Pasukan
yang ditugasi menculik Brigjend TNI Sutojo S. dipimpin oleh Serma Sarono, anak
buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok Sukwan
PKI
g)
Pasukan
yang ditugasi menculik Brigjend TNI D.I Pandjaitan dipimpin oleh Serda Sukardjo, anak buah
Kapten Inf. kuntjoro, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok Sukwan PKI.
-
Pasukan
Bimasakti
Kekuatan
bersenjata yang dialokasikan kepada Pasukan Bimasakti terdiri atas satu
Batalyon Infanteri di pimpin oleh Mayor Inf. Bambang Supeno, dan satu batalyon
Infanteri yang dipimpinn oleh Kapten Inf. Kuncoro, empat Batalyon sukwan PKI,
dan satu Kompi Infanteri pimpinan Kapten Inf. Suradi berasal dari Briginf
pimpinan Kol.Inf A. Latief. Pasukan ini bertugas pokok menguasai kota Jakarta
yang telah dibagi menjadi enam sektor, yaitu;
a)
Sektor
Jakarta Pusat/kompleks istana Kepres
b)
Sektor
Jatinegara
c)
Sektor
Senen dan Kemayoran
d)
Sektor
Tanjung Priok
e)
Sektor
Kemayoran Lama
f)
Sektor
Grogol
Sejak dini hari,
jum’at tanggal 1 Oktober 1965 pasukan ini telah menduduki dan menguasai
objek-objek penting di sekitar Monas. Objek-objek yang penting dalam sarana komunikasoi juga
telah dikuasai seperti gedung RRI Jakarta dan Gedung Telekomunikasi Jakarta
Pusat
-
Pasukan
Gatotkaca
Kekuatan
bersenjata yang tergabung dalam pasukan gatotkaca terdiri atas satu batalyon
pimpinan Mayor Uadara Soejono dan pasukan sukwan dan Sukawati PKI. Satuan ini
berfungsi sebagai pasukan cadangan yang bertugas menampung tawanan hasil
penculikan dan melakukan pembunuhan serta menguburkan korban-korban hasil
penculikan.
Aksi Penculikan
1)
Usaha
Penculikan Terhadap Jendral TNI A.H. Nasution
Pasukan yang
ditugasi menculik Jendral TNI A.H Nasution dibawah pimpinan Pelda Djahurub
dengan berkendaraan truk berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober
1965 sekitar pukul 03.00 menuju ke kediaman Jendral A.H Nasution di jalan Teuku
Umar 40 Jakarta. Ketika pasukan penculik melewati kediaman Dr.Leimena yang
berdekatan dengan kediaman Jendral A.H. Nasution yaitu di Jalan Teuku Umar 36
Jakarta mereka membunuh pengawal yang bertugas di tempat kediaman Dr.Leimena
yaitu Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun.
Ibu Nasution
ketika mengetahui ada sejumlah orang bersenjata masuk secara paksa kedalam
rumah, segera mengunci pintu kamar dan memberitahu Jendral A.H. Nasution
tentang datangnya orang-orang berseragam yang mungkin bermaksud tidak baik.
Beliau kurang yakin akan keterangan isterinya itu dan segera membuka pintu
kamar. Ketika melihat pintu dibuka, anggota penculik segera melepaskan tembakan
kearahnya, dan seketika itu beliau menjatuhkan diri kelantai, dan isterinya
cepat-cepat menutup dan mengunci kamar kembali. Tembakan pasukan penculik
diarahkan langsung ke daun pintu kamar.
Sementara itu,
Ade Irma Suryani putri bungsu mereka yang berumur 5 tahun oleh pengasuhnnya
dilarikan keluar kamar dengan maksud hendak diselamatkan, tetapi seorang
penculik melepaskan tembakan otomatis dan mengenai punggung Ade Irma Suryani.
Jendral A.H. Nasution didorong oleh isterinya untuk keluar dari kamar melalui
pintu samping dan menuju ke pagar tembok. Sambil menggendong Putri bungsunya
yang terluka, Ibu Nasution menghadapi para penculik yang sudah nberada diruang
tengah. Dan dengan memanjat dinding tembok samping rumah, Jendral A.H. Nasution
berhasil melarikan diri.
Slah seorang
ajudan Jendral A.H Nasution, yakni Lettu Czi Pierre Andreas Tendean yang malam
itu menginap di paviliun, terbangun karena kegaduhan di luar kamar. Kemudian ia
keluar kamar untuk memeriksa apa yang terjadi, tetpi ia ditangkap oleh
gerombolan penculik dan diseret kesalah satu kendaraan. Setelahnya pasukan
penculik itu meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Lubang Buaya.
2)
Penculikan
Terhadap Letjend TNI A. Yani
Pausukan
yang bertugas menculik Men/Pangad Letjend TNI A. Yani dipimpin oleh Peltu Mukidjan
berangkat dari Lubang Buaya pukul 03.00 tanggal 1 Oktober 1965. Setiba dirumah
Latjend TNI A.Yani di jalan Latuharhary 6 Jakarta, beberapa anggota penculik
segera masuk pekarangan rumah. Regu pengawal yang sama sekali tidak menaruh
curiga atas kedatangan mereka seketika itu dilucuti. Sebagian pasukan penculik
menuju kekediaman Letjend A.Yani dan mengetuk pintu yang dibukakan oleh seorang
pembantu, Isteri A. Yani malam itu sedang berada di kediaman resmi Men/Pangad
di Taman Suropati. Sementara puteri kedua Letjend A. Yani terbangun mendengar adanya keributan,
tetapi tidak berani keluar kamar. Yang keluar dari kamarnya adalah putera
beliau yang berumur 11 tahun, yang segera membagunkan ayahnya, dan belaupun keluar
dari kamarya.
Salah seorang
anggota pasukan penculik menyampaikan berita baahwa beliau dipanggil Presiden.
Ketika beliau menjawab bahwa hendak mandi dan berpakaian terlebih dahul, salah
satu dari penculik melarangnya sambil menodongkan senjatanya. Melihat sikap
kuran ajar anggota penculik tersebut beliau sangat marah dan memukulnya hingga
jatuh. Beliau membalik dan hendak menutup [pintu kaca yang menghubungkan ruang
belakang dengan ruag makan, tetapi seketika itu Serda Gijadi, salah seorang
anggota penculik menembakkan senjata Thompson dari belakan dan tujuh butir
peluru menembus tubuh Letjend A. Yani sehingga beliau terjatuh dan roboh. Praka
Wagimin menyeret Letjend A. Yani yang berlumuran darah keluar dari kediamannya
dan dimasukkan kedalam kendaraan, dan mereka kembali menuju kw Lubang Buaya.
3)
Penculikan
Terhadap Mayjend TNI Soeprapto
Pasukan
yang bertugas menculik Mayjend TNI Soeprapto di pimpin oleh Sarda Sulaiman.
Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan
penculik ini mamasuki halamn rumah Mayjend Soeprapto di jalan Besuki 19,
Jakarta dan mengetuk pintu. Beliau terbangun dan setelah pasukan penculik
menyatakan dari Cakrabirawa, beliau keluar dari kamarnya dan membuka pintu.
Diteras sudah menunggu beberapa paasukan penculik. Serda Sulaiman mengatakan
bahwa Mayjend Soeprapto diperintahkan untuk menghadap presiden dengan segera.
Oleh beliau diperintahkan untuk menunggu karena akan berganti pakaian. Para
penculik melarangnya dengan kasar, bahkan mendorong serta memaksanya keluar.
Beberapa orang penculik memegangi tangannya dan menaikkannnya dengan paksa ke
dalam sebuah truk. Kemudian mereka kemabli menuju ke Lubang Buaya.
4)
Penculikan
Terhadap Mayjend S. Parman
Pasukan
yang bertugas menculik Mayjend TNI S. Parman di pimpin oleh Serma Satar.
Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan
penculik ini mamasuki kediamannya di
jalan Samsurizal 32, Jakarta. Mereka memasuki pekarangan rumah dengan melompat
pagar. Karena keributan itu Mayjend S. Parman terbangun dan menduga ada
perampokan dirumah tetangganya. Beliau keluar kamar dengan maksud memberi
bantuan . ketika membuka pintu depan, diluar telah menunggu para paenculik yang
mengatakan bahwa beliau dipanggil oleh Presiden. Beliau mengattakan akan
memenuhi panggilan tersebut dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dua
orang penculik mengikutinyab dari belakang. Beliau minta agar mereka menunggu
di ruang tengah saja, tetapi mereka tidak mengindahkannya.
Ibu
S. Parman mulai curiga akan tingka laku mereka yang demikian kasar. Beliau
menanyakan surat perintah panggilan dari Iatana Presiden, seorang menjawab
bahwa surat perintah tersebut ada pad Pelda Yanto di luar. Usaha Ny. S. Parman
untuk melihat surat printah tersebut tidak berhasil. Karena surat peintah itu
memang tidak pernah ada. Bahkan beliau ditodong dengan sangkur. Dengan
berpakaian lengkap Mayjend S. Parman kluar kamar, sambil melangkah beliau
meminta kepada istrinya agar menelpon
letjend A. Yani, untuk melaporkan kejadian tersebut. Ternayata kabel
telepone telah diputus. Mayjend S. Parman dimasukkan kedalam kendraan pasukan
penculik dan dibawa ke Lubang Buaya.
5)
Penculikan
Terhadap Mayjend TNI Haryono MT
Pasukan
yang bertugas menculik Mayjend TNI Haryono MT di pimpin oleh Serma Bungkus.
Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. setibanya di
kediaman Mayjend Haryono MT di jalan Pramabanan 8, Jakarta. Serma Bungkus
memberi tahu Ny. Haryono bahwa Mayjend Haryono dipanggil oleh Presiden. Ny.
Haryono yang tidak menaruh curiga kepada mereka kemudian membangunkan Mayjend
Haryono, beliau menaruh curiga dan melaui Isterinya beliau meminta agar kembali
lagi sektar pukul 08.00.Serma Bungkus memaksa agar beliau berngakat pad malam
itu juga. Kerena menyadari sesuatu hal yng tidak wajar beliu meminta kepda
isteri dan anak-anaknya pindaah kekamar sebelah. Sementar itu Serma bungkus dan
beberapa anggota penculik berteriak-teriak meminta agar beliau keluar.
Kerena
beliau tidak memenuhi permintaan tersebut, mereka melepaskan tembakan ke pintu
yang terkunci. Pintu terbuka dan mereka memasuki kamar tidur. Pada saat beliau
berusaha merebut senjata salah seorang anggota penculik, tetapi gagal dan
bersamaan denga itu beliau dtusuk beberapa kali dngan sangkur. Beliau roboh
bermandikan darah dan kemudian diseret
keluar dan dimasukkan kjedala truk lalu kemabli ke lubang buaya.
6)
Penculikan
Terhadap Brigjend TNI Sutojo S
Pasukan
yang bertugas menculik Brigjen TNI Sutjoo di pimpin oleh Serma Surono.
Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00.. sebagian
anggota penculik memasuki bagian belakang rumah kediaman beliau di jalan
Sumenep 17, Jakarta mlaui garasi sebelah kana. Dengan todongan sangkur mereka
meminta kepada pembantu untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju ke kamar
tengah, setelah mmembuka pintu, penculik menerobos masuk dan mngatakan kepada
Brigjend Sutojo, bahwa beliau di panggil presiden, kemudin para penculik
membawa beliau dengan paksa keluar rumah dan membwanya ke Lubang Buaya.
7)
Penculikan
Terhadap Brigjend TNI D.I Pandjaitan
Pasukan
yang bertugas menculik Brigjend di pimpin
oleh Serda Sukardjo. Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 pukul
03.00. para penculik membuka pintu kediamannya yang berada di Jalan Hasannudiin
53 jakarta dengan paksa, kemudian menembak kedua keponkan beliau yang saat itu
sedang tidur dilantai atas. Salah
seorang diatanratanya tewas, setelah itu para penculik berteriak
memanggil Brigjend D.I Panjaitan agar keluar untuk menghadap presiden. Semula
beliau tidak mau keluar, tetapi karena adanya ancaman dari para penculik yang
akan membunuh seisi rumah jika tidak mau keluar, maka beliau keluar dan
menuruni tangga dengan mengenakan pakaian seragam lengkap.
Setiba
dihalaman, beliau tidak dapat menahan amarahnya atas sikap para anggota pasukan
penculik terhadapnya. Beliau dipukul dengan popor senjata hingga jatuh. Pada
saat itu juga dua orang anggota penculik yang lain menembaknya dengan senjata
otomatis.
D.I Panjaitan
gugur pada saat itu juga dan jenazahnya dimasukkan dalam satu kendaraan yang
telah disediakan. Sementa itu, seorang anggota polisi berpangkat agen polisi (
Bharada) Sukitman yang sedang melaksanakan tugas patroli, karena mendengar
letusan senjata api, mendatangi tempat kejadian. Setibanya ditempat itu ia
langsung ditangkap oleh para penculik dan ikut dibawa pula ke Lubang Buaya.
BAB IV
PENUMPASAN G30S/PKI DAN TUNTUTAN MASSA DALAM
PEMBUBARANNYA
1.
Tindakaan
Kostrad
Penilaian
Panglima Kostrad
Pada hari Jum’at
tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya
penculikan dan pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI
Soeharto segera mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari
situasi. Dalam rapat tersebut Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap
dan jekas tentang gerkan yang beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat
presiden berada. Setelah tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah
TNI-AD yang pernah berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau
ketahui sebagai anggota PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan
setelah warta berita RRI Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI
Soeharto mempunyai keyakinan bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang
bertujuan menggulingkandan merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.
Operasi
Penumpasan
Berdasarkan
keyakinan itu, Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk
menumpas gerakan pengkhiatan tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan
menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang
tidak mendukung Gerakan 30 September, disertai dengan usaha menginsyafkan
kesatuan-kesatuan yang digunakan oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan
makin tidak menguntukan pihak Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian
besar satuan yang digunakan oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil
disadarkan dan kembali menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian
Kostrad. Setelah pasukan-pasukan yang dopengaruhi oleh G30S berhasil
disadarkan, maka langkah selanjutnya adalah merebut RRI Jakarta dan Kantor
Besar Telkom yang sejak pagi-pagi diduduki oleh pasukan Kapten Inf. Suradi yang
berada dibawah komando Kolonel Inf. A. Latief. Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD
dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan merebut kembali
kedua objek penting tersebut dengan sejauh mungkin menghindari pertumpahan
darah.
Pada pukul 17.20
Studio RRI Jakarta telah dikuasai oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah
direbut pula Kantor Besar Telkom. Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di
sekitar pangkalan Uadara Halim
Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September, operasi
penumpasan diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang tanggal
1 Oktober 1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang
menggunakan Pondok Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang
semakin tidak menguntungkan gerakannya. Situasi menjadi semakin gawat bagi
pasukan G 30 S setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI
Soepadjo agar pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertummpahan
darah.
Setelah RRI
berhasil dikuasai kembali oleh RPKAD, pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto
selaku pimpinan sementara AD menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap
diseluruh wilayah tanah air. Dengan bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI
Jakarta Soeharto menjelaskan bahwa telah terjadi tindakan pengkhianatan oleh
apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G
30 S telah melakukan penculikab terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD,
sedangkan Presiden dan Menko Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam
keadaan aman. Situasi Ibu Kota Negara telah dikuasai kembali dan telah
dipersiapkan langkah-langkah untuk menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara
pimpinan AD dipegang oleh Soeharto. Pidato Pangkostrad tersebut dapat
menentramkan hati rakyat yang seharian penuh diliputi suasana gelisah dan tanda
tanya.
Pasukan
pendukung G 30 S setelah melakukan perlawanan lebih kurang setengah jam, pada
tanggal 2 Oktober 1965 pukul 14.00
menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.
Ditemukannya
Tempat Penguburan Para Korban Penculikan di Lubang Buaya
Dengan hancurnya
kekuatan fisik G 30 S / PKI di Ibu Kota operasi dilanjutkan untuk mengetahui
nasib para korban penculikan. Sukitman, anggota polisi yang ditangkap pasukan
penculik pada saat dilakukannya penculikan terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan,
yang berhasil melarikan diri melaporkan kepada pasukan keamanan bahwa ia
menyaksikan sendiri penyiksaan dan membunuhan yang dilakukan terhadap korban
penculikan. Atas perintah Mayjen Soeharto dengan bantuan Sukitman tanggal 3
Oktober 1965 sekitar 17.00 dapat ditemukan timbunan tanah dan sampah yang
diperkirakan sebagai tempat penguburan kemudian dilakukan penggalian terhadap
timbunan tanah dan sampah tersebut yang ternyataa adaalah sebuah sumur tua.
Hasil penggalian membenarkan bahwa sumur tua tersebut ditemukan tanda-tanda adanya janazah sesuaai dengan
laporan Sukitman. Atas perintah Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo, penggalian
timbunan tanah dihentikan karena mengalami kesulitan teknis, dan lagi hal
tersebut perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Mayjen Soeharto. Keesokan
harinya, setelah mendapat laporan tentang ditemukannya tempat yang kemmungkinan
besar menjadi tempat para korban penculikan dikubur, Mayjen Soeharto kemudian
menuju sumur tua itu yang berada dilingkuangan kebun karet didaerah Lubang
Buaya. Atas perintah Soeharto penggalian mulai dilakukan, yang pelaksanaan
teknisnya dilakukan oleh anggota kesatuan Intai para Ampibi (KIPAM) dari KKU AD
( Marinir) bersama-sama anggota RPKAD dengan disaksikan kembali oleh mayjen
Soeharto. Dalam sumur tua tersebut ditemukan jenazah semua korban penculikan
yang berjumlah tujuh orang, Letjen TNI Ahmad yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen
TNI S. Parman, mayjen TNI Harhono M. T, Brigjen TNI D. I Panjaitan, Brigjen TNI
Soetojo S, serta Lettu Czi Pierre Andreas Teendean. Dengan telah ditemukannya
seluruh korban penculikan dalam keadaan meninggal, Soeharto menyampikan pidato
yang kemudian di siarkan oleh RRI Jakarta tanggal 4 Oktober 1965 sekitar pukul 20.00.
dalam pidato tersebut Soeharto mengatakan bahwa dengan kesaksian beliau sendiri
secara langgsung telah berhasil ditemukaan jenazah 6 orang jendral dan seorang Perwira pertama yang menjadi korban
penculikan Gerakan 30 September.
Ketujuh jenazah
tersebut dikubur dalam sebuah sumur tua di ddaerah Lubang Buaya, tempat
pelatihan sukwan-sukwati pemuda Rakyat dan Gerwani. Hal itu terbukti dari
pengakuan seorang anggota Gerwani yang berasal dari Jawa Ten gah yang pernah
dilatih ditempat tersebut dan tertangkap di Cirebon.
Setelah dirawat
sebagaimana mestinya, para korban fitnah dan pembunuhan G 30 S kemudian
disemayamkan diaula markas Besar TNI AD jakarta. Keesokan harinya pertepatan
dengan HUT ke 20 ABRI, tanggal 5 Oktober 1965 dengan upacara kebesaran militer
jenazah para putra terbaik bangsa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Jendral TNI A.H Nasution bertindak selaku inspektur upacara. Dalam pidato
pengantar jenazah para pahlawan itu,
Menko Hankam/Kasab dengan terbata-bata dan penuh kesedihan menyatakan bahwa
hari angkatan bersenjata tanggal 5 Oktober adalah hari yang selalu gemilang,
tetapi pada hari itu telah dihinakan oleh pengkhianatan dan penganiayaan para
perwira tinggi TNI AD. Beliau juga mengatakan bahwa fitnah terhadap ABRI
merupakan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan dan mengajak segenap
prajurit TNI untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan tersebut dengan meminta
kepada rakyat agar ikhlas melepas para pahlawan tersebut menghadap Tuhan YME.
Disepanjang
jalan iring-iringan jenazah para pahlawan Revolusi itu, ratusan ribu rakyat
mengantarkannya sebagai perwujudan rasa hormat, belasungakawa dan simpati.
2.
Tuntutan
Massa Dalam Pembubaran Pki
a.
Reaksi
Partai Politik dan organisasi Massa
Kenyataan
menunjukkan bahwa setelah tersiar adanya G 30 S melalui studio RRI Jakarta pada
tanggal 1 Oktober 1965, baik parpol maupun ormas belum menentukan sikap karena
sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya.
Mereka belum mempunyai pedoman untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi
sosial politik pada saat itu memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar
sikap yang mereka ambil jangan sampai menimbulkan kerugian politis bagi partai
atau golongan.
Baru setelah
mendengar siaran langsung pidato Soeharto ditempat ditemukannya para korban
penculikan pada tanggal 4 Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para
pahlawan Revolusu tanggal 5 Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan
ormas yang umumnya bernada sebagai berikut:
Ø
Mengucap
syukur atas terhindarnya presiden Soekarno dari bahaya;
Ø
Tetap
berdiri penuh di belakang presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno;
Ø
Mengutuk
pemberontakan dan pengkhianatan G 30 SPKI.
b.
Tindakan
Spontan Massa terhadap PKI
Setelah
diperoleh tanda-tanda yang semakin jelas bahwa PKI adalah dalang dari pelaku
Gerakan 30 September, mulailah terjadi aksi-aksi spontan berbagai kelompok
massa pemuda, mahasiswa dan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi
aksi-aksi massa menyerbu gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya.
Aksi-aksi massa tersebut terjadi diberbagai daerah dan tempat-tempat dimana
terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu terjadi suasana tegang dan konflik
fisik.
Sementara itu
tanggal 8 Oktober 1965 di taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai
organisasi massa melakukan apel kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila.
Apel kebulatan tekad tersebut juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI
beserta ormas pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta
lembaga-lembaga negara lainnya dari
unsur-unsur G 30 S/PKI.
Kegiatan
penindakan terhadap PKI yang semula hanya timbul secara spontan dari
masing-masing golongan masa, pemuda, mahasiswa dan pelajar kemudian menjadi
lebih luas. Pada tanggal 2 Oktober 1965 berbagai partai politik yaitu NU, IPKI,
Partai Katolik, Parkindo, PSII, unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta
ormas-ormas aanti komunis seperti Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk
dan begabung menjadi fron Pancasila.
Dengan
memperhatikan munculnya suasana yang sama dilingkungan mahasiswa dalam menuntut
pembubaran PKI dan menyerbu gedung-gedung PKI, tanggal 25 Oktober 1965 Menteri
perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb,
memanggil beberapa tokoh dari organisasi mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa
untuk menghadapi gerakan komunis, para mahasiswa agar tidak bergerak
sendiri-sendiri tetapi terpadu dalam satu kesatuan aksi. Dan menganjurkan
kepada mahasiswa agar membentuk Gerakan Mahasiswa yang terpadu dengan nama “
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia” (KAMI). Sejak saat itulah terbentuk Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai kesatuan
aksi lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan Koordinasi
Kesatuan Aksi. Pada tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan Fron Pancasila
menandatangani naskah deklarasi mendukung pancasila, yang bertujuan menggalang
persatuan antara rakyat dan ABRI sebagai Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi
pancasila secara murni serta menolak usaha pembelaan terhadap Gerakan 30
September dalam bentuk apapun.
c.
Tri
Tuntutan Rakyat (Tritura)
Janji yang
berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian
politik yang adil terhadap pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan.
Sementara itu, gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan
bertambah luas. Situasi yang menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah
lagi dengan munculnya rasa tidak puas terhadap kesdaan ekonomi negara.
Dalam keadan
serba tidaak puas dan tidak sabar, akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati
Nurani Rakyat, atau lebih dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat
menjadi Tritura. Dengan dipelopori oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari
1966 kesatuan-kesatuan aksi yang bergabung dalam fron Pancasila memenuhi
halaman DPR GR dan mengajukan tiga buah tuntutan yang kemudian dikenal sebagai
Tritura itu, yang isinya adalah :
Ø
Pembubaran
PKI;
Ø
Pembersihan
kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan
Ø
Penurunan
harga dan perbaikan ekonomi.
3.
Komando
Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban
Sore hari
tanggal 2 Oktober 1965 setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota
Jakarta, Mayend Soeharto menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan
tersebut presiden memutuskan untuk secra langsung memegang tampuk
PimpinanAngkatan Darat yang semenjak tanggak 1 Iktober 1965 untuk sementara Mayjend Soeharto. Sebagai pelaksana
harian presiden menunjuk Mayjend Pranoto Reksosamudro untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan dan
ketertiban seperti sedia kala ditunjuk Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.
Keputusan
tersebut disiarkan oleh Presiden dalam Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul
01.30 tanggal 3 Oktober 1965. Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima
operasi pemulihan keamanan dan ketertiban serta pembentukan komando operasi
pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) kemudian diatur dengan
Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor 142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965, Nomor 162/Koti/1965/tgl 12 November 1965 dan
Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.
Tugas pokok
Kopkamtib adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat
peristiwa Gerakan 30 September serta menegakkan kembali kewibawaan pemerintah
pada umumnya dengan jalan operasi fisik,
militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan pemberontakan ini, di
mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan bekerjasama dengan organisai-organisasi
politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada pancasila.
4.
Surat
Perintah 11 Maret
Pada tanggal 11
Maret 1966 Presiden mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto,
menteri/pangad, yang pokoknya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk atas
nama presiden/Pangti ABRI/peminpim besar Revolusi, mengambil sega tindakan yang
dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kesetabilam
pemerintahan.
Pemberian surat
perintah tersebut merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian
wewang kepda Letjend Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba
tidak menentu. Keluarnya Surat Perintah tersebut disambut dengan semangat yang
menggelora oleh rakyat dan durat perintah tersebut sering disebut “Supersemar”
(Surat Perintah 11 Maret). Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada
Supersemar, dengan menimbang masih adanya kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta
memperhatikan hasil-hasil pengadilan dan keputusan Mahkamah militer Luar Biasa
terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI, pada tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas
nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi menandatangani Surat
Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu
pembubaran PKI dan organisasi-organisasi yang bernaungdan berlindung dibawahnya
serta menyatakan sebagai organisasi terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.
5.
Pembubaran
PKI
Berdasarkan
wewenang yang bersumber pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden
menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian
organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang
se azas/ berlindung/bernaung dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam
Keputusan Presiden/Pangti ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret 1966
dan merupakan tindakan pertama Letjen Soeharto sebagai pengemban perintah 11
Maret atau Supersemar.
Keputusan
pembubaran dan pelarangan PKI itu
diamabil oleh pengemban Supersemar berdasarkan pertimbangan bahwa PKI telah
nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi
telah dua kali pengkhianatan terhadap negara dan rakyat Indonesia yang sedanag
berjuang.
Seluruh rakyat
yang menjunjung tinggi landasan falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu
serentak menuntut dibubarkannya PKI. Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI
itu disambut dengan gembira dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia.
BAB V
KESIMPULAN
Akhir dari Orde
Lama, di tandai oleh tragedi nasional yang biasa disebut Gerakan 30 September,
yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI ). Hal ini merupakan usaha
mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan ideologi komunis. Inilah bahaya
terbesar bagi Pancasila dan UUD 1945 yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 30
September malam 1965, PKI telah siap melakukan pemberontakan dengan pangkalan
di Lubang Buaya, termasuk daerah pangkalan Halim Perdana Kusumah. Gerakan
tersebut dipelopori oleh pasukan Pasopati di bawah pimpinan Lettu Dul Arief dan
pasukan yang memakai seragam Resimen Cakrabirawa Pengawal Istana, yang dipimpin
oleh Letkol Untung Sutopo. Mereka bergerak hari Jumat, 1 Oktober 1965, pukul
03.00 dini hari memasuki Ibukota dengan sasaran : (a) menculik dan membunuh
beberapa perwira tinggi TNI-AD, dan (b) menduduki tempat vital, seperti studio
Radio Republik Indonesia, pusat telekomunikasi, dan Istana Merdeka.
Sasaran yang
menjadi korban adalah Letnan Jendral Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor
Jendral haryono (Deputy Khusus) dibunuh di rumah kediaman kemudian dibawa ke
Lubang Buaya. Lettu Piere Andreas Tendean (Ajudan menko Hankam KASAB Jenderal
A.H. Nasution), Mayor Jenderal Suprapto (Deputy Pembinaan), Mayor Jenderal S.
Parman (Asisten I), brigjen D.I. Panjaitan ( Asisten IV), Brigjen Sutoyo
Siswomiharjo ( Inspektur Kehakiman), diculik dan dibawa ke Lubang Buaya,
disiksa dan dibunuh, dimasukkan sumur kering. Peristiwa sadis tersebut selesai pukul 06.30 pagi.
Dalam usaha penculikan itu Jenderal Nasution dapat menyelamatkan diri, tetapi
Ade Irma Suryani, puterinya yang masih kecil, menjadi korban membentengi
ayahnya..
Dalam penyiksaan
di Lubang Buaya tersebut, disaksikan oleh Sukitman (seorang anggota Poltas) yang lepas dari
tawanan pemberontak. Selanjutnya Sukitman berjasa sebagai informan dalam
pencarian para korban oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Tanggal 2
Oktober 1965 , saat menjelang subuh, Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD), dibantu Batayon 328 Kujang Siliwangi, berhasil merebut Pangkalan Halim
Perdana Kusumah, basis G30S/PKI. Letkol Untung Sutopo dan Dipo Nusantara Aidit
(Pimpinan Sentral Komite Partai Komunis Indonesia atau CCPKI) berhasil lolos
dan melarikan diri.
Tanggal 4
Oktober 1965, dilakukan pengambilan jenazah para perwira Tinggi AD oleh anggota
RPKAD dan KKO AL, dipimpin oleh Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto. Pada hari
berikutnya, para Perwira Tinggi AD dan Seorang Perwira pertama korban
penculikan G30S/PKI tersebut dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi dengan Surat
Keputusan No. III/KOTI/1965 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta.
Bagaimanapun,
Pancasila dan UUD 1945 pulalah yang sebenarnya berhasil untuk menggagalkan
G30S/PKI dan menghancurkannnya. Hal itu artinya, bahwa G30S/PKI tersebut dapat
digagalkan oleh kekuatan rakyat yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Nilai-nilai Pancasila yang pernah menyelamatkan bangsa Indonesia dari bahaya
perpecahan bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan, saat ini kembali jiwa dan
semangatnya berkobar dengan seindah-indahnya untuk menyelamatkan bangsa
Indonesia dari pengkhianatan G30S/PKI. Itulah makna dari tanggal 1 Oktober
sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Yang sakti bukan Pancasila sebagai rumusan
yuridis formal, melainkan nilai-nilainya yang dipahami, dihayati, dan diamalkan
secara murni dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kegagalan
G30S/PKI berarti berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama, dan tangggal 1
Oktober 1965 menjadi awal proses peralihan dari masa pemerintahan Orde lama ke
Orde Baru, yaitu orde atau tatanan yang secara murni dan konsekuen. Murni
berarti sesuai dengan hakikat makna masing-masing sila dari Pancasila, tanpa
rekayasa dan jauh dari pemaksaan; konsekuen berarti tulus dan bertanggung
jawab. Mulainya Orde Baru ditengarai dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil
tindakan-tindakan yang perlu demi keamanan bangsa dan negara. Berdasar pada
Supersemar tersebut, tanggal 12 Maret 1966 Soeharto membubarkan PKI dengan
segenap Ormas (Organisasi Massa) dan Orpol (Organisasi Politik)-nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan